CERPEN
oleh silpanus
Jangan lupa berkunjung ke sini ya : http://bitly.ws/nrgq
Di pertengahan tahun 2003, aku, istri dan putriku yang
baru berusia enam bulan, menginjakkan kaki di sebuah desa yang di sebut dengan
Desa Sembuluh, sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Danau Sembuluh
Kabupaten Seruyan Propinsi Kalimantan Tengah, perjalanan kami menuju desa ini
harus melewati danau yang luas, dengan menumpang pada sebuah kapal motor, yang
ketika itu sedang menunggu penumpang di pelabuhan Desa Bangkal, sebuah desa
yang juga masuk wilayah Kecamatan Danau Sembuluh, terletak di sebelah barat
Desa Sembuluh
Perjalanan mengitari danau yang luas, bahkan menurut
beberapa penelitian. Danau yang kami lewati kala itu, merupakan danau terluas
yang ada di Propinsi Kalimantan Tengah.
Airnya kecoklatan dan gelombang
yang terbentuk, oleh terpaan angin yang cukup kencang. Pinggiran danau ditumbuhi oleh tumbuhan bakau, dan beberapa
jenis pohon yang rantingnya berduri tajam. Beberapa tempat nampak ikan ikan
yang meloncat ke permukaan air. Perjalanan dari Desa Bangkal menuju Desa Sembuluh
kurang lebih satu jam.
Kami tiba di sebuah daratan yang berpasir, saat itu
kondisi air danau kata pemilik perahu motor sedang pasang, biasanya pada bulan
bulan tertentu, yakni di penghujung tahun. Danau itu airnya surut, hingga
pantai pasir putih bisa terlihat jelas. Menginjakan kaki di sebuah desa yang
sebelumnya belum pernah terbesit di pikiran kami. Hanya karena tugas sebagai
guru bantu yang ketika itu, memaksa kami untuk mengabdikan diri di desa yang
terpencil ini. Bagaimana tidak, akses untuk bisa ke desa Sembuluh, hanya
melewati danau yang luas itu, untuk bisa pergi ke desa lain dan menuju kota.
Itupun jaraknya sangat jauh.
Desa yang kami jejaki, juga terdapat desa lainnya yang
sangat dekat, bahkan hanya terpisah oleh batas jalan desa saja. Ternyata tempat
pertama kali kami menginjakan kaki,
adalah Desa Sembuluh Dua, dan agak ke utara ada Desa Sembuluh Satu. Menurut
penuturan pemilik kapal motor yang kami tumpangi, bahwa Desa Sembuluh Satu dan
Desa Sembuluh Dua, berada dalam satu kawasan saja, dan jika di lihat dari letak
geografisnya, kedua desa ini seperti membentuk huruf U, dan setiap sisi kedua
desa ini. Terbentang danau yang luas dan diberi nama Danau Sembuluh.
Kehidupan masyarakat di kedua desa ini, mayoritas
pekerjaannya adalah sebagai nelayan dan sebagai pembuat perahu besar. Ikan
hasil tangkapan dari kedua desa ini, biasa sampai ke kota kota besar, dan juga
sering menjadi ikon, bahwa Danau Sembuluh, merupakan tempat dan sorganya bagi
perkembangbiakan ikan ikan jenis air tawar secara alami. Beragam jenis ikan
bisa dijumpai di danau ini. Dari ikan yang memiliki harga yang mahal seperti
ikan arwana atau nama ilmiahnya osteoglossidae. Sampai pada ikan baung, lais,
sanggang, toman, biawan, biis, haruan, telan, piyang, kalui, udang *),
serta beberapa jenis ikan lainnya.
Sebagai pembuat perahu perahu besar, yang terbuat dari
kayu besi, ulin atau biasa disebut dalam bahasa ilmiahnya eusideroxylon
zwageri. Penduduk Desa Sembuluh Satu dan Desa Sembuluh Dua, sangat piawai dalam
membentuk perahu perahu besar. Hingga tidak jarang para pemesannya pun orang
orang yang selalu berbisnis melalui jalur sungai bahkan laut. Banyak memesan
untuk di buatkan perahu perahu besar itu. Memang tidak mudah untuk membuat
perahu perahu besar itu. membutuhkan waktu yang cukup lama, dan dilakukan oleh
beberapa orang. Ditambah lagi dengan peralatan yang masih sangat sederhana.
Mayoritas penduduk yang ada adalah beragama Islam,
dengan penduduk asli yang masih bersinggungan dengan keturuan dayak di Propinsi
Kalimantan Tengah. Ada juga yang sudah berbaur dengan suku lainnya, hingga
dalam perkembangannya kedua desa yang ada di sekitar Danau Sembuluh ini, untuk
bahasa asli atau bahasa ibunya sudah terkikis, hilang karena pengaruh dari
bahasa lainnya yang sudah terlalu sering digunakan di kedua desa ini.
Hal yang cukup menarik dan dimiliki oleh kedua desa ini
adalah, terdapat sepasang meriam, konon sepasang meriam itu merupakan
peninggalan zaman penjajahan Belanda. Beberapa kisah yang bercampur mistik,
sering mengiringi keberadaan sepasang meriam tersebut. Menurut beberapa warga
yang pernah bercerita. Pernah suatu ketika, sepasang meriam tersebut, mau
dipindahkan ketempat lain. Ketika di bawa menggunakan perahu. Perahu tersebut
justru tenggelam. Hingga akhirnya sepasang meriam tersebut, tidak di pindahkan
kemanapun. Hingga sekarang berada di Desa Sembuluh Satu. Dan menjadi salah satu
daya tarik bagi orang yang ingin mengetahui tentang sejarah dari sepasang
meriam tersebut.
Ada juga yang mempercayai, jika ingin melakukan hajatan.
Dan jika usahanya tersebut berhasil, maka orang yang bersangkutan wajib
membunyikan sepasang meriam tersebut. Suara dentuman yang di keluarkan oleh
sepasang meriam tersebut, hingga sekarang masih terdengar keras hingga seantero
Desa Sembuluh Satu dan Desa Sembuluh Dua. Bahkan bisa terdengar hingga desa
desa tetangga lainnya.
Tentang penamaan Desa Sembuluh. Menurut dari beberapa
warga juga, dahulu saat pembukaan wilayah, tempat ini banyak ditumbuhi oleh
pohon pohon bambu, biasa di sebut dengan buluh. Hingga akhirnya desa ini diberi
nama Desa Sembuluh.
Seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk. Oleh beberapa masyarakatnya membuka wilayah baru
yang diberi nama Desa Sembuluh Dua. Sejak kami memasuki desa ini, penerangan
desa mengandalkan mesin PLN, yang di kelola oleh Pemerintah Daerah.
Penerangannya pun hanya dua belas jam, dari pukul enam sore hari, hingga pukul
enam pagi harinya.
Air danau, merupakan bagian mata pencaharian bagi
masyarakat di sekitar danau. Sumber daya alam yang tersedia di Danau Sembuluh,
seakan akan memberikan sumber gizi yang tiada pernah terhenti. Ikan ikan
tangkapan yang di peroleh menjadi lauk yang setiap hari di nikmati. Pada saat
itu, harga sepuluh ekor ikan biis, lais dan ikan ikan yang berukuran dua jari
orang dewasa harganya hanya seribu rupiah. Begitu terjangkau pada tahun itu.
Produktivitas pembuatan perahu perahu besarpun selalu
menjadi pekerjaan sampingan yang cukup menjanjikan, bagi setiap warga yang
selesai pulang dari mencari ikan di danau. Menyibukan diri kembali untuk
membuat perahu perahu besar yang menjadi pesanan local, bahkan juga pesanan
orang orang yang berada di pulau Jawa. Saat itu illegal loging belum diterapkan
oleh Pemerintah. Sebagian besar penduduk.
Mengambil kayu kayu ulin itu dari lahan yang mereka
buka untuk di jadikan tempat bercocok tanam. Membuka lahan, hutan untuk
dijadikan lahan pertanian juga di lakoni oleh penduduk desa. Hampir semua
penduduk asli mempunyai lahan yang luas. Dengan berbagai macam jenis tumbuhan
yang ada di atas lahan pertaniannya. Seperti padi, ketela pohon, pisang,
rambutan, cimpedak, durian, karet dan berbagai pohon buah lainnya.
Suatu ketika, sehabis saya pulang dari mengajar di SMA
Kertapati, suatu sekolah swasta yang didirikan oleh tokoh tokoh desa, yang
sangat peduli dengan pendidikan. Peserta didiknya mengajak saya untuk pergi ke
hutan, di sebuah lahan pertanian milik orang tuanya. Disitu kami memetik buah
cimpedak yang berbuah lebat sekali. Gratis, dan dimakan sampai puas, hingga
kami pulang dengan beberapa karung untuk orang rumah. Jika di kota, buah buah
tersebut ada harganya. Disamping rasanya yang lezat juga bisa dibuat dalam
bentuk panganan yang lain, seperti kue cimpedak. Bahkan kulitnya pun bisa
dibuat sebagai lauk untuk makan.
Bila musim tanam atau panen padi tiba, warga desa yang
tadinya banyak mencari ikan dan membuat perahu. Terpaksa untuk meninggalkan
pekerjaannya untuk sementara. Dan bersama sama untuk pergi ke lahan
pertaniannya untuk menanam dan panen padi bersama. Hasil panen padi itu, bisa
menjadi stok selama satu tahun, hingga sampai pada musim panen berikutnya.
Jenis beras dari padi yang di panen, dan dimasak menjadi nasi, maka agak
kemerah merahan. Karena jenis benih yang taburkan memang agak berbeda dengan benih
benih padi di daerah Jawa. Aktivitas menanam dan memanen tersebut biasa disebut
warga local dengan manugal dan mangatam. Sayur mayur, juga banyak dihasilkan
dari tanah tanah pertanian di kedua desa ini.
Dari hasil hutan juga, setiap minggu penduduk membawa
hewan hasil tangkapannya di hutan, beberapa hewan tangkapan seperti menjangan,
burung burung dan hewan lainnya yang halal di makan. Sering mereka peroleh,
sebab hutan hutan belantara adalah tempat hidup semua binatang buruan tersebut.
Hewan buruan yang berhasil di tangkap oleh pemburu tersebut, sering kali
menjadi sumber lauk pelengkap dari ikan yang setiap hari di peroleh dari danau.
Dari hewan hewan liar yang di tangkap dari hutan itu.
sebagian juga menjadi sumber penghasilan bagi warga. Karena daging hewan buruan
itu seringkali dijual kepada setiap warga, yang ingin mengkonsumsi daging. Bahkan
bila ada acara perkawinan di desa Sembuluh Satu atau Desa Sembuluh Dua, hampir
semua penduduk yang datang ke acara tersebut. Beberapa hari sebelumnya,
beberapa warga yang melaksanakan hajatan, pergi kehutan untuk berburu
menjangan. Daging hewan itu akan di gunakan untuk jamuan lauk bagi, para undangan
yang datang merayakan pesta perkawinan.
Sungguh sumber daya alam yang ada di Danau Sembuluh,
menjadikan tempat bagi warga untuk menikmati kebutuhan hidup yang layak,
asalkan mau bekerja. Semuanya tersedia secara alami untuk masyarakat
sekitarnya. Ingin makan ikan, maka pergilah memancing atau menjala, atau ikut
marempa *). Jika ingin menikmati daging hewan, maka pergilah berburu
ke hutan. Dan kalau mau menikmati buah buahan juga tersedia di lahan lahan
pertanian masyarakat desa dengan senang hati memberikan buah buahan itu.
Suasana asri di pedesaan yang nyaman, jauh dari hiruk
pikuk perkotaan, bebas dari berbagai macam pencemaran air dan udara bahkan
suara. Membuat kawasan Danau Sembuluh, bisa menjadi destinasi wisata yang
menjanjikan, apabila di kelola dengan sangat baik. Danau yang luas, hutannya
yang asri, kebutuhan hidup sangat mudah dan gampang di cari. Menjadikan kawasan
Danau Sembuluh memberikan segalanya bagi masyarakat sekitarnya.
Hingga tidaklah mengherankan jika Danau Sembuluh, adalah
sumber daya alam yang memberikan kekayaan air, tanah dan hutannya bagi warga
penduduk yang ada di sekitarnya.
*) merempa = menangkap ikan menggunakan
jaring, ditarik bersama sama tapi harus menceburkan diri ke air
Semuanya tersedia oleh
alam, tinggal bagaimana manusianya lagi untuk bisa mengelola dengan bijaksana,
agar kekayaan alam itu bisa bertahan hingga kepada anak cucu, khususnya bagi
masyarakat yang ada di Desa Sembuluh Satu dan Desa Sembuluh Dua.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan hingga tahunpun
silih berganti. Desa Sembuluh Satu dan Desa Sembuluh Dua, yang dulu adalah desa
terpencil. Karena akses infrastruktur khususnya jalan tidak ada, hanya
mengandalkan perahu motor sebagai sarana transportasi air. Kini sudah bisa
menggunakan jalur darat. Beberapa jalan sudah dibentuk oleh beberapa perusahaan
perkebunan kepala sawit yang berinvestasi dan beroperasi di kedua wilayah ini.
Pembukaan lahan sebagai lahan perkebunan. Salah satu menjadi alasan dibukanya
akses jalan yang menghubungkan wilayah antar desa hingga tembus ke jalan
Kabupaten dan Propinsi cukup melalui jalur darat.
Pembebasan lahan dengan sejumlah uang, yang dibayarkan
oleh pihak investor kepada masyarakat desa yang memiliki lahan. Menjadi hal
baru, bagaimana tidak. Sejumlah uang yang lumayan banyak, dengan begitu cepat
dapat diterima. Asalkan warga mau menjual lahannya untuk pihak investor dan
dijadikan lahan perkebunan kepala sawit. Pro dan kontra di antara warga,
seringkali terdengar. Bukan hanya di perkumpulan antar RT, RW, bahkan dalam
rumah tanggapun kada menjadi perdebatan. Banyaknya lahan yang di miliki oleh
masing masing penduduk. Kadang kadang juga menjadi hal yang mengusik batin
mereka. Untuk sekadar mencoba menjual beberapa petak dan mendapatkan sejumlah
uang yang lumayan banyak.
Seiring waktu tersebut, setelah masuknya perusahan
perkebunan sawit. Beberapa warga yang tadinya sebagai nelayan dan pekerja
perahu, mulai beralih profesi dengan menjadi karyawan di perusahan perusahan
perkebunan itu. entah apa yang membuat mereka beralih profesi. Apakah karena
gaji yang besar? Ingin mencari suasana baru? Atau hanya sekadar ikut ikutan
menjadi seorang karyawan? Walaupun kemampuan secara bidang keilmuan perkebunan,
atau teoritis yang didapat dalam pendidikan perkebunan tidak ada, mereka tetap
ingin bekerja di perusahan perkebunan itu.
Perkembangan zaman sudah mulai menunjukkan rotasinya,
setiap waktu pasti berubah. Manusia bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan
zaman. Namun apakah alam akan cepat beradaptasi dengan perkembangan zaman?.
Tentu tidak, alam butuh waktu yang lama untuk mereproduksi ekosistemnya. Selama
manusia tidak merusaknya. Maka alam akan mampu kembali menjadi alam yang liar
yang dipenuhi dengan sumber daya alam alami.
Lahan pertanian warga, kini berubah menjadi lahan
perkebunan sawit yang dimiliki oleh para investor, mengekspansi usahanya untuk
mendapatkan profit, hutan dan lahan pertanian yang sudah di perjualbelikan.
Kini di babat untuk dibuka menjadi lahan perkebunan kepala sawit. Limbah limbah
hutan yang berupa kayu kayu. Sebagian besar dimanfaatkan untuk membuat rumah
rumah bedeng bagi para pekerja di perkebunan tersebut. Awal perkebunan sawit
dimulai dengan pembibitan. Beberapa lahan masih terbatas beberapa hektar saja.
Karena baru pembukaan lahan oleh pihak perusahaan.
Seiring dengan waktu yang terus bergulir, perkebunan
kepala sawit, semakin meluas. Pohon pohon sawit, yang tadi hanya tunas tunas
muda, kini menjadi pohon pohon yang menghasilkan buah yang lebat. Struktur
tanah yang cocok untuk perkebunan kepala sawit di wilayah Danau Sembuluh.
Membuat perkebunan ini menjadi tumbuhan yang memiliki komoditi ekspor. Dengan
berkembangnya perusahaan perkebunan, dan juga meluasnya lahan perkebunan.
Karena masyarakat masih saja menjual lahan lahan pertaniannya kepada pihak
investor. Membuat perkebunan sawit semakin eksis di wilayah Danau Sembuluh.
Berbagai pekerja datang dan bekerja di perusahaan
perkebunan, mereka dari berbagai suku, bukan saja dari pekerja yang ada di Desa
Sembuluh Satu dan Desa Sembuluh Dua. Tetapi dari berbagai pulau yang ada di
Nusantara. Pada sisi ketenagakerjaan, perusahaan Perkebunan banyak menyerap
tenaga kerja, tidak sedikit yang bekerja di perusahaan perkebunan tersebut,
sekarang sudah mencapai ribuan pekerja.
Para warga yang sudah menjualkan lahan lahan yang
mereka miliki, menikmati uang dari penjualan lahan itu dengan berbagai
pemanfaatan. Ada yang untuk sebagai modal usaha, membuat rumah baru,
menyekolahkan anak ke pulau Jawa, bahkan ada yang sekadar untuk membuat dirinya
nyaman dan bahagia, dengan keinginan mereka masing masing.
Hutan di kawasan danau sembuluh, mulai tidak memberikan
manfaat lagi bagi masyarakat sekitar. Binatang binatang liar, yang bisa
dimanfaatkan dagingnya untuk konsumsi. Kini mulai hilang, karena habitat mereka
sudah mulai tidak ada. Sumber makanan dan berlindung bagi mereka sudah mulai
hilang. Berganti dengan pohon pohon sawit. Hingga penduduk pun sudah tidak bisa
lagi mendapatkan hewan buruan.
Pohon pohon dari lahan sendiri, seperti pohon ulin yang
dijadikan bahan membuat kapal. Juga sudah mulai habis. Karena lahannya di jual,
Ditambah dengan peraturan illegal loging yang di kumandangkan oleh Pemerintah.
Membuat penduduk yang biasa membuat perahu perahu besar di Desa Sembuluh,
pekerjaan itu sudah tidak nampak lagi. Aktivitasnya kini sudah hilang. Tidak
ada lagi perahu perahu besar yang dibuat atau made in Desa Sembuluh. Kerajinan
tangan masyarakat local dalam membuat dan menciptakan perahu perahu kayu
berukuran besar.
Hasil pertanian, seperti pohon buah buahan, padi dan
sayur sayuran. Kini juga sudah perlahan lahan mulai sulit untuk di peroleh.
Kebanyakan buah buahan dan sayur sayuran, kini hanya diperoleh dari para
pedagang. Yang dibawa dari kota dan dijual di desa. Akses jalan darat yang di
buka, akibat dari pembukan lahan perkebunan, memberikan sisi kemudahan bagi
geliat bisnis di desa Sembuluh. Beberapa warga kota, menjajakan barang
dagangannya di kedua desa ini, alih profesi sebagian warga menjadi supir taxi,
yang dijalankan oleh beberapa warga yang mempunyai dana untuk membeli armada
transport darat. Juga dimanfaatkan dengan maksimal. Jalan penghubung antar
wilayah melalui darat. Benar benar membuka peluang yang sangat mudah sekali.
Konsekwensi yang dihadapi oleh para usaha perahu
motorpun kini harus terpaksa banting stir, karena jalan darat sudah tembus,
mereka terpaksa harus menjual armada airnya untuk di ganti dengan alat
transportasi darat. Bahkan ada warga yang memanfaatkan pembukaan lahan
perkebunan, dengan membeli transportasi yang bisa mengangkut buah sawit seperti
truck. Dengan menjual layanan jasa angkutannya kepada pihak perusahaan.
Para nelayan, atau pencari ikan di Danau Sembuluh,
mulai berkurang, pekerjaan utama di danau, kini hanya menjadi pekerjaan
sampingan saja. Sumber daya alam yang di peroleh dari danau, kini sudah mulai
berkurang. Jenis ikan ikan tertentu, kini sudah jarang dijumpai. Entah apa
penyebabnya.
Ada beberapa pendapat warga yang mengatakan, bahwa
habitat ikan ikan tersebut kini sudah rusak, akibat limbah tertentu yang mencemari
lingkungan hidupnya. Kini, harga ikan ikan yang dulu bisa diperoleh dengan
harga seribu rupiah, tidak ada lagi. Yah? Semua karena perkembangan zaman, setiap
tahun tentu nilai mata uang selalu mengalami perubahan. Hingga berdampak juga
terhadap penghasilan dan pemenuhan akan kebutuhan hidup.
Perkembangan pendidikan di desa Sembuluh, juga
mengalami perubahan dari tahun ketahun, dulu ada SMA Kertapati, yang merupakan
sekolah swasta rintisan dari para tokoh tokoh masyarakat, kini berubah status
menjadi SMA Negeri 1 Danau Sembuluh, proses pembelajaran berjalan sesuai dengan
kurikulum dan peraturan pendidikan yang ada. Masuknya perkebunan sawit, membuat
para tokoh tokoh pendidikan yang ada di desa Sembulu, kembali membentuk SMK
Kertapati, sekolah kejuruan yang berbasis perkebunan.
Sekolah kejuaran tersebut, di didirikan sebagai langkah
untuk mengimbangi perkembangan dari masuknya perkebunan sawit di desa Sembuluh.
Harapannya adalah, dengan adanya sekolah kejuruan dengan basis pendidikan
tentang perkebunan, minimal lulusan dari sekolah tersebut, bisa memahami seluk
beluk dunia perkebunan. Sehingga saat bekerja di perusahaan perkebunan sudah
memiliki bekal ilmu pengetahun yang cukup. Sehingga tidak semata mata hanya
menjadi karyawan yang bekerja sebagai buruh buah, atau buruh panen saja.
Aku mulai merenung, saat ketika pagi pagi benar, antara
pukul empat dan pukul lima dini hari, ibu ibu yang sudah paruh baya. Menunggu
jemputan di sebuah sudut jalan tengah desa itu. mereka nampak dengan pakaian
lusuh, sepatu bot, bahkan ada yang menggunakan bedak basah di wajahnya.
Menunggu supir truk yang menjemput mereka untuk diantarkan, kesetiap abdling
tempat dimana mereka bekerja sebagai buruh kebun di sebuah perkebunan sawit.
Dulu sebelum perusahaan perkebunan itu masuk, jarang di
jumpai kerumunan ibu ibu paruh baya yang menunggu di perempatan jalan. Mereka
hanya terlihat ketika matahari mulai terbit di pinggiran danau, menunggu suami
mereka datang membawa ikan ikan dari danau. Sembari mencuci pakaian kotor.
Sekarang halnya nampak berbeda. Pilihan pekerjaan mereka sendiri yang
membuatnya. Kebahagiaan itu mereka sendiri yang mengalaminya. Waktu sudah
berselang kurang lebih enam belas tahun, saat pertama kali. Aku dan keluargaku
menginjakan kaki di Desa Sembuluh.
2003 ke 2019 adalah waktu yang cukup banyak buatku,
untuk menyaksikan perubahan yang terjadi di Desa Sembuluh. Perubahan pola
pikir, bersosial, adat istiadat, cara cara berwirausaha, sikap dan
perilaku dalam bermasyarakat,
perkembangan pendidikan yang progresnya semakin baik, tingkat perekonomian,
sampai pada pengaruh teknologi yang masuk ke desa Sembuluh.
Beragam pendapat dari warga terhadap perkembangan dari
pra perkebunan sawit, hingga pasca perkebunan sawit, yang berimbas terhadap
siklus pola hidup masyarakat, akibat pengaruh dari masuknya ekspansi perusahan
perkebunan tersebut. Ada yang beranggapan, akses jalan terbuka, hingga
memudahkan transportasi, dulu menuju kota bisa ditempuh seharian perjalanan,
sekarang ke kota bisa pulang pergi dalam sehari. Terbukanya lapangan pekerjaan,
roda perekonomian berjalan cepat. Namun demikian, masih ada yang beranggapan,
bahwa masuknya perusahaan perkebunan sawit. Hanya menguntungkan pihak investor
saja. Masyarakat banyak yang bekerja sebagai buruh. Kurang perhatian terhadap
kesejahteraan masyarakat. Pencemaran terjadi, hutan banyak yang rusak, susah
mencari hewan buruan.
Peningkatan kecemasan tersebut akibat rasa kurangnya
perhatian investor terhadap masyarakat sekitar. Akhirnya membentuk solidaritas
dari masyarakat setempat untuk membuat suatu bentuk bentuk usaha tani, yang
tergabung dalam koperasi bersama. Dengan berbagai lebel koperasi. Mereka
kemudian mengajukan berbagai macam proposal kepada pemerintah daerah. Agar pihak
perusahaan bisa memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar desa. Khususnya
melalui perkebunan plasma.
Tuntutan untuk perkebunan plasma yang di dengungkan,
bergulir dari waktu kewaktu. Walapun hal tersebut sudah tertuang dalam
perundang undangan, bahwa pihak investor yang bergerak dalam bidang perkebunan,
wajib memberikan sekian persen perkebunan plasma kepada masyarakat sekitar.
Berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintahan desa yang di gandeng langsung
berbagai koperasi yang di bentuk masyarakat. Hingga akhirnya antara tahun 2016,
beberapa perusahaan perkebunan sawit. Menyalurkan perkebunan plasma kepada
masyarakat setempat.
Penyaluran kebun plasma tersebut, diberikan kepada
orang orang yang tentunya melewati beberapa syarat, khususnya bagi para
pendatang. Termasuk juga saya, yang kebetulan bagian dari pendatang. Ada
criteria yang harus dipenuhi. Mulai dari lamanya berdomisili di desa, memiliki
KTP asli wilayah setempat, dan beberapa hal lainnya. Walaupun pihak perusahaan
memberikan kebun plasma kepada masyarakat sekitar. Tidak berarti tidak ada
masalah. Justru menimbulkan polemik baru.
Dari penyerahan kebun plasma kepada masyarakat, yang
masih dalam tahap bagi hasil usaha. Karena masih ditangani oleh koperasi. Ada
sebagaian besar masyarakat local. Yang tidak mendapatkan kebun plasma tersebut.
Dan inilah yang acapkali terjadi benturan social di tengah masyarakat, kadang
muncul aksi demontrasi, bahkan ujaran ujaran yang kurang mengenakan. Ini
terjadi pada saat pembagian sisa hasil usaha (SHU) keanggotaan koperasi
tersebut.
Ketidakpuasaan atas layanan kesejahteraan yang
diberikan oleh pihak perusahaan. Memunculkan aksi solidaritas baru di kalangan
masyarakat secara umum. Bahkan tidak jarang aksi aksi demontrasi yang
dilakukan, langsung di wilayah perkantoran perusahaan tersebut. Beragam ujaran
ujaran dalam berbagai spandukpun bermunculan. Ada yang menuliskan kalimat
“KEMBALIKAN TANAH KAMI”, “JANGAN BUANG LIMBAHMU KE DANAU”, PERUSAHAAN TIDAK
MEMBERIKAN KESEJAHTERAAN BAGI WARGA LOKAL, dan banyak lainnya. Disamping itu
pula beberapa oratorpun naik mobil komando, untuk menyuarakan semangat
solidaritasnya terhadap aksi yang dilakukan.
Inilah pemandangan yang terjadi, setelah kurang lebih
lima belas tahun berlalu. Dimana sebelum investor perkebunan masuk ke wilayah
Danau Sembuluh, kehidupan masyarakat sekitar, di manjakan oleh kekayaan
alamnya, sumber sumber protein hewani dan nabati semuanya tersedia dengan
melimpah. Tak pernah ada demontrasi, tak pernah ada yang subuh dini hari
menunggu di perempatan jalan.
Tapi semuanya telah terjadi, roda zaman terus berputar.
Sama halnya zaman dinasaurus, para raksasa purbakala. Alam berevolusi setiap
waktu. Kita tidak bisa menahan zaman akan terus sama. Tetapi kita bisa
berkembang dan berbaur dengan perubahan zaman. Alam boleh menyediakan segala
kebutuhan hidup bagi kita. Selama apa yang disediakan, dapat di manfaatkan
dengan bijak. Agar anak cucu bisa merasakan manfaatnya, walaupun tidak persis
sama dengan apa yang dirasakan sekarang. Setidaknya, di zaman mereka. Perubahan
itu adalah hasil dari peradaban sekarang.
Kawasan danau sembuluh, sekarang bukan lagi di penuhi
oleh hutan hutan liar, hewan hewan liar, atau lahan lahan pertanian yang
menyediakan beraneka macam jenis tumbuhan dan buah buahan. Evolusi sekarang
terjadi, karena campur tangan manusia. Kawasannya sekarang menjadi kawasan
perkebunan kepala sawit. Dengan luas yang cukup besar di wilayah Kabupaten
Seruyan.
Harapan kini tinggalah, bagaimana eksploitasi hutan
belantara jangan sampai punah hanya karena ekspansi perkebunan kepala sawit. Alih
fungsi hutan menjadi lahan perkebunan kepala sawit setidaknya bukan hanya
sebagai komoditas ekpor yang cuma menguntungkan para investor saja. Tetapi juga
di pikirkan manfaat lain dari komoditas perkebunan tersebut. Baik dari batang,
cabang, daun hingga buah sawit. Agar peradaban di zaman baru. Perkebunan sawit
bukan suatu produk gagal dari sebuah evolusi yang di sebabkan manusia. Tetapi
menjadi komoditas yang akan bisa menggantikan minyak fosil dengan minyak
nabati.
Pengendalian terhadap limbah dari perkebunan sawit,
juga di harapkan dapat terkontrol dengan baik. Agar dampak negative dari limbah
tidak menjadi permasalahan yang dapat menimbulkan konflik social bagi
masyarakat. Kawasan danau sembuluh, hingga kini yang masih tetap sama adalah
danaunya, harapan yang terus ditunggu adalah, kawasan danau bisa dijadikan
sebagai destinasi wisata. Luas danau yang begitu luas setidaknya bisa dijadikan
sebagai alasaan utama. Untuk menjaga kawasan di sekitar danau tetap bisa
lestari.
Dengan terjaganya kawasan sekitar danau sembuluh,
setidaknya pencemaran terhadap air tidak terjadi, sehingga ekosistem yang ada
di dalamnya dapat terjaga sepanjang
waktu. Disisi lain, air yang ada di danau, menjadi sumber hidup bagi masyarakat
sekitar. Air yang dipergunakan sebagai kebutuhan hidup masyarakat yang ada.
Menurut beberapa sumber bahwa luas danau sembuluh kurang lebih 7.832,5 ha dan
memiliki panjang sejauh 35,68 km. Tercatat sebagai danau terluas yang ada di
Kalimantan Tengah.
3 komentar:
semoga danaunya selalu lestari dan menjadi destinasi wisata yang dapat membuka pintu usaha bagi masyarakat sekitarnya
semoga tempatnya menjadi daya tarik yang membuat orang datang untuk berwisata di danau sembuluh.
Tempatnya memiliki potensi untuk mendapatkan PAD sekiranya dapat dikelola dengan baik dan benar
Posting Komentar