Sembuluh
Dua, 24 Juli 2017 17.00 WIB
Oleh : Silpanus
Hampir
satu jam perjalan dari bundaran KB, akhirnya rombongan avanza, ertiga dan ayla
tiba di desa Lampuyang, salah satu desa yang masuk dalam Kabupaten Kotawaringin
Timur. “Ayo pa santo, bawa logistik kita?”. Ujar. Pa Kalyudi sambil menenteng
beberapa biji buah kelapa muda dari kebun miliknya. Sementara itu beberapa
anggota rombongan mampir di sebuah warung yang menjual beberapa kudapan,
kebetulan hari masih pagi dan ada yang belum sempat sarapan. “Saya pesan kopi
saja?”. Kata pa.Ari suaminya bu Rahmi. “Kalau saya, pesan teh saja, soalnya gak biasa ngopi?’.
Pesan pa Sil yang duduk di sebelah pa Ari.
“Saya,
sudah terbiasa pa Sil, jadi kalau tidak ngopi rasanya pahit gitu, nah ngopi
plus ini pa Sil?”. Sambung pa Ari seraya mengeluarkan rokok kreteknya. Pa Romi,
suaminya bu Santi menghampiri mereka yang sedang menikmati kudapannya, “Seumur
hidup, saya baru kali ini melihat isi bangunan sarang walet, ternyata begitu
isi dalamnya?”. Ujar pa.Romi, kebetulan di tempat pa Kalyudi itu ada beberapa
bangunan sarang walet milik keluarga besar pa Kalyudi, “Eh, pa? Kira kira
sengaja ya pakai baju terbalik?”. Celetuk pa Sil dengan pa Romi, sontak saja pa
Romi memperhatikan pakaiannya. “Astafirullah?.. ternyata saya tidak sadar pakai
baju terbalik dari sampit tadi, hahahahaha?”. Pa. Romi pun bergegas melepas pakaiannya,
“Kenapa yah?”. Ujar bu Santi istrinya yang memperhatikan pa Romi suaminya
melepas pakaiannya. “Iya ini, ternyata saya gak sadar pakai baju terbalik,
untung di kasih tahu oleh pa Sil?”. Sahut pa Romi. “Saya tadi tidak perhatikan
juga, kalau pa Romi pakai baju terbalik?”. Ujar pa Kalyudi yang juga bersamaan
datang dengan pa Santo sehabis memantau rumah walet miliknya.
Episode
menikmati kudapanpun berakhir, lalu lanjut dengan sarapan, bekal bekal yang
sudah dipersiapkan kembali di hidangkan oleh bu Dibe, bu Santi dan bu Siti.
Bagi yang lupa membawa perlengkapan piring dan sendok terpaksa menggunakan
tutup tupperware seadanya. “Ah, adik kaka ne sama saja, makan pakai tutup
tupperware?”. Celetuk pa Sil dengan bu Nopi dan bu Sari. “Biar aja pa Sil, yang
penting ada tempat makan?”. Balas bu Nopi sambil menikmati ikan asinnya dengan
lahap. “Waduh, kok bekas makanan di taruh di tempat saya!”. Ujar bu Dibe yang
terkejut ketika bekas tulang ikan menumpuk di piring makannya. “Lho, saya pikir
sudah selesai makannya?”. Balas bu Ida yang sengaja menaruh tulang tulang ikan
itu di piring bu Dibe. “Saya itu mau menambah nasi bu Ida, masih lapar ini?.
Saya belum selesai makan?”. Sahut bu Dibe sambil mengeluarkan satu persatu
tulang ikan yang masuk ke piringnya. “Hihihihi?”. Nampak bu Sari (panggilan
untuk ibunya idon, saridon) tertawa lirih melihat nasib adik nya jadi korban
buly oleh bu Ida. “Eh, bu Sari, koq ketawanya cuma hihihihi gitu?”. Ujar bu
Nopi di sebelahnya. “Kalau saya tertawa hahahaha, takutnya ikan asin yang saya
makan ini bisa malacung, taulah malacung?”. “Nggak?”. Balas bu Nopi.
“Eh,
kita selvie dulu, itu di ajak bu Dibe selvie di sana?”. Ujar bu Rahmi sambil
menunjuk batang kayu yang menjorok ke laut, di bawahnya nampak bu Dibe dan bu
Ida sudah selvi berdua. Sejurus kemudian nampak bu Nopi, bu Rahmi dan bu
Saridon berlari kecil menuju tempat mereka selvie. “Eh, bu Sari, kalau selvie
tu harus ba aksi?”. “Oke!!”. Balas bu Sari mantap. “Ibu ibu, siap, 1 2 3 ?”.
ujar bu Dibe memberi aba aba. “Ciaaaatttttttt?”. Tiba tiba bu Saridon beraksi
mengeluarkan jurus. “Waduh? Bu Sari, koq selvie gitu?”. Ujar bu Rahmi yang
hidungnya kena tangan bu Saridon. “Kan, kata bu Nopi, kalau selvie harus
beraksi?”. “Waduh? Kakak ku yang satu ini?”. Ujar bu Dibe sambil menapok
jidatnya.
“Maksud
saya itu, beraksi bukannya mengeluarkan jurus seperti itu bu Sari, tapi seperti
senyum kah, atau ngangkat jari seperti ini?”. Kata bu Nopi menjelaskan lagi.
“Oh, saya kira beraksi itu mengeluarkan jurus, waduhlah maka sudah keluar jurus
kontau kambe tadi?”. Kata bu Saridon santai. “Kontau kambekah, kontau hantukah,
yang kena hidung saya ne?”. Ujar bu Rahmi sambil memegang hidungnya yang tiba
tiba mempet. “Ayo kita ulang selvienya?”. Ujar bu Dibe. “Ingat bu Sari jangan
beraksi lagi, tenang saja kamu, duduk manis aja jangan macam macam?”. Sambung
bu Dibe lalu kemudian mengambil foto. “Eh itu bapak bapak sudah datang naik
banana boat, ayo kita lagi?”. Ujar bu Siti yang menghampiri mereka. “Ayo?”.
Sahut bu Saridon dengan penuh semangat.
Jam
sudah menunjukan pukul setengah dua belas, beberapa orang guru mempersiapkan
tempat membakar ikan, udang dan ayam yang di bawa dari sampit untuk di santap
siang itu, nampak bu Siti, bu santi, dan bu Hadi mempersiapkan tungku buatan
menaruh arang untuk panggangan ikan. Hembusan angin kencang cukup membuat bara
api terus menyala hingga membuat ikan, udang dan ayam yang di bakar cepat
matang. “Ma, lapar?”. Ujar adra dengan ibunya yang lagi sibuk membakar ikan. “Ya,
tunggu sebenar nak?”. Ujar bu Siti sambil membalik beberapa potong ikan peda
yang sudah mulai matang. Nampak bu Dibe sedang mengolah sambal buah rembang
yang pedas. Tidak beberapa lama bu Nopi, bu Rahmi dan bu Ida membantu
menyelesaikan membakar ikan, kurang lebih setengah jam akhirnya ikan ikan itu
sudah siap di santap, beberapa orang guru dan anak anak masing masing
mendapatkan jatah makannya sesuai keinginannya masing masing. Suasana siang di
pondok ujung pandaran dinikmati dengan santap siang yang lezat, tidak terasa
semua perbekalan logistik tidak tersisa, begitu pula nasi hingga air minum.
Semuanya habis dan tidak ada yang mubazir. Jam satu siang, semua rombongan siap
siap kembali menuju sembuluh dengan membawa cerita masing masing, pengalaman
refresing yang asyik dan penuh ketegangan.
Cerita Senada :
Dunia Kami..
Mulen Menggapai Cita ..."
Suara Aneh Di Tengah Danau....?"
Inikah Rasanya Prajabatan Di Jogja...?"
Oleh : Silpanus
“Tolooooongg,
aku tenggelam? teriak bu Nopi
Sinar
mentari pagi perlahan menerangi tapak demi tapak setiap jalan yang di lalui
oleh rombongan guru SMANSADASE yang saat itu sedang menuju ujung pandaran,
nampak mobil putih berlabel mobilio dan rush hitam meluncur
menelusuri sepanjang jalan desa sembuluh menuju sampit, jam menunjukan pukul
setengah lima pagi nampak mobil honda putih itu melaju kencang ketika tiba di
jalan beraspal meninggalkan rush hitam yang masih berjibaku dengan tanah
latrit, “Memang supir mantab pa yasir itu?”. Ujar pa. Kinoy yang nampak mabuk
perjalanan. “Sing ada lawan we?”. Balas pa Iful yang duduk di sebelahnya.
Perjalanan
masih jauh, sementara beberapa orang guru yang lain sudah menunggu di sampit
sesuai dengan waktu yang ditentukan. “Bu Dibe, gimana logistik kita, apa sudah
siap?”. Ujar bu Santi lewat telpon selulernya. “Sudah siap, yang belum cuma
nunggu nasi aja?”. Balas bu Dibe. “Kalau gitu, kami sambil jalan aja, bila
masih sempat kami menunggu di sekitar bundaran KB, sekalian nunggu rombongan bu
Eva sama bu Choirul?”. “Oke, sip?”. Balas bu Dibe.
Jam
sudah menunjukan pukul setengah enam, mobil ertiga dan avanza putih melintas
jalan H.M Arsyad menuju bundaran KB. “Jam berapa otw ke ujung pandaran?”.
Sebuah pesan pa Sil di group WA
SMANSADASE, beberapa saat kemudian ada cuitan pa Santo dan bu Siti. “Ini kami
sudah meluncur ke bundaran KB?” kemudian pa Sil menyusul rombongan bu Santi dan
bu Siti. Sementara dalam perjalanan, ada cuitan di WA. “Pa sil, dimana posisi,
bu Eva dimana posisi?”. Cuitan WA bu Santi. “Kami masih di pal 56?” cuitan
balasan bu Eva. “Oke, kalau gitu kami duluan?”. Balas bu Santi lewat cuitan WA
nya.
“Berapa harganya bu?”.Ujar bu Santi |
Avansa,
ertiga dan ayla pun melaju melintasi jalan menuju ujung pandaran, rencananya
akan berhenti sejenak di desa lampuyang tempat pa Kalyudi untuk mengambil
logistik lainnya. Kurang lebih setengah jam perjalanan, tiba tiba avanza
rombongan bu Santi berhenti, sejurus kemudian nampak bu Santi berlari kecil
menyeberangi jalan menuju sebuah tempat penjualan buah nenas. “Berapa harganya
bu?”.Ujar bu Santi sambil menimang beberapa biji buah nenas. Beberapa saat
kemudian nampak bu Santi membayar sejumlah uang kepada penjual nenas itu,
kemudian kembali ke mobil avanza nya. Kembali ketiga mobil yang membawa
rombongan trip pertama itu melaju melintasi jalan menuju desa lampuyang.
“Ayo pa santo, bawa logistik kita?”. Ujar. Pa Kalyudi |
“Mama, saya pesan kopi?”. Teriak Farel |
Tidak
beberapa saat, sebuah mobil fortuner hitam tiba di dekat warung, ternyata
rombongan bu Hadi bersama suaminya
“Sudah lama ya nunggu?” ujar pa Edi suami bu Hadi, “Baru saja pa?”.
Sahut pa Ari. “Ayo pak minum?” “Iya, silahkan, saya sudah tadi?”. “Mama, saya
pesan kopi?”. Teriak Farel anaknya ibu Erna, ternyata anak usia 10 tahun suka
juga minum kopi tidak kalah dengan orang dewasa. Sementara anak anak yang lain
sibuk dengan main kucing nya Adra. Setelah selesai menikmati kudapan, rombongan
avanza, ertiga dan ayla kembali lebih dulu meluncur menuju ujung pandaran yang
menyisakan 20 kilometer lagi, sementara rombongan bu Hadi menunggu rombongan bu
Eva, bu Choirul dan pa Ufik yang masih beberapa kilometer lagi tiba.
Hamparan
kanan terbentang beberapa persawahan milik penduduk yang terurus dengan baik,
ditempat ini merupakan salah satu lumbung padi milik Kabupaten Kotawaringin
Timur. Angin kencang di sekitar pantai menyambut kedatangan rombongan guru guru
SMAN-1 Danau Sembuluh, suasana laut di akhir bulan Juli nampak bergelombang
cukup besar dari biasanya, desiran angin laut pun nampak menebarkan hawa dingin
yang seakan menusuk tulang, panasnya sinar matahari tersapu oleh hembusan keras
angin laut namun mampu membakar kulit. Setelah menyelesaikan admin untuk tiga
buah pondok bu Susanti sang ketua rombonganpun membawa rombongan ke tempat
singgah semua guru guru dan keluarga untuk rehat.
“Pa Sil, ayo kudapan, ini request kemarin?”. Ujar bu Rahmi |
“Pa
Sil, ayo kudapan, ini request kemarin?”. Ujar bu Rahmi menawarkan beberapa kue
kue basah, guru guru pun menikmati kudapan yang di bawa oleh bu Dibe yang di
belinya di pasar tradisional sampit. Sementara anak anak berlarian menuju ombak
yang saling berkejaran menyisir pantai ujung pandaran. Nampak beberapa
pengunjung dari berbagai tempat juga memenuhi tempat wisata tersebut, ada yang
dari rombongan instansi, dan beberapa dari kalangan keluarga masing masing. Disudut
pondok nampak pa Romi, pa Ufik dan pa Santo asyik membelah buah kelapa untuk di
ambil airnya.
“Kalau punya pa Ufik ne, jika seperti ini cara membukanya langsung lowau, oleh saking besarnya?”. Balas pa Santo. |
“Nah
yang ini pas lobangnya pa Ufik?”. Celetuk pa Santo sambil menuangkan air buah
kelapa yang di belah oleh pa Romi ke dalam tong air. “Heeee, kan sudah
pengalaman we, cara membukanya?”. Balas pa Romi. “Kalau punya pa Ufik ne, jika
seperti ini cara membukanya langsung lowau, oleh saking besarnya?”. Balas pa
Santo. “Hahahahahaha, sesuai ukuran jua we ay?”. Balas pa Ufik santai. “Kan
jadi mudah jalannya?”. Timpalnya lagi. “Hahahahahahaha, ketiganya pun tertawa
lepas, maklum satu pikiran jadi paham dengan perkataannya.
“Ah?,
itu nah, keluar dari mulut dengan cara meloncat?”. Ujar bu Sari menjelaskan
pada bu Nopi yang pura pura tidak tahu. “Ohhh, tapacul gitu ya?”. “Astaga?
Bukan itu!. Kalau itu artinya cangkul?”. “Hah!, apa nggak salah tuh?”. Timpal
bu Nopi. “Benar?”. Ujar bu Sari meyakinkan. “Setahu saya tapacul itu, artinya
terlepas?”. “Kamu salah bu Nopi, tapacul itu artinya cangkul?”. “Waduh, jadi
pusing saya?”. Ujar bu Nopi yang nampak kebingungan. “Jangankan kamu, saya saja
sudah dari tadi pusing?”. Balas bu Sari.
“Hah!.
Memangnya pusing kenapa bu Sari, padahal sudah makan tuh?”. “Bukan karena
pusing belum makan?”. “Terus? Pusing oleh apa?”. “Ini, lihat ini?”. Ujar bu
Sari sambil menunjukan ikan asin miliknya. “Saya pusing, dari tadi oleh karena
ini?”. “Memangnya apa yang salah dengan ikan asin itu bu Sari?”. “Waduh, kamu
ini kurang paham ya?, ini ikan asin yang di kasih adik saya bu Dibe itu, masa
tulang semua tidak ada satupun dagingnya?”. Ujar bu Sari protes “Hihihihihihi,
itu sudah pas buat kamu bu Sari?”. Ujar bu Nopi sambil tertawa lirih.
“Pas
apanya, gigi saya sampai nyilu mengunyah tulang ikan asin ini nggak remuk remuk
juga, tega adik saya itu?”. “Memangnya kalau makan, kamu kebagian tulang terus
ya?”. Ujar bu Nopi penasaran. “Tidak juga, tapi paling banyak seperti itu,
katanya sayang kalau dibuang, jadi terpaksa tulang tulang ikan, ayam bahkan
tulang sapi pun itu saya yang harus mengunyahnya?”. “Hahahahahahahahaha, nasib
nasib?”. Ujar bu Nopi geli mendengar pengakuan bu Saridon, saking tertawanya
tanpa sadar bu Nopi sampai terkentut. “Buuuuttt!”.
“Eh,
kamu kentut ya?”. Ujar bu Sari. “Sssssstttt jangan keras keras nanti
kedengaran?”. Ujar bu Nopi. Efeknya memang luar biasa, bu Eva yang di belakang
mereka nampak mengibas ngibaskan tangan di hidungnya, “Kenapa bu Ev?”. Ujar bu
Sari santai. “Tau ini, apa arsa beol ya?”. Kata bu Eva sambil memperhatikan
pampers arsa anaknya. “Nah, nggak beol?”. Timpal bu Eva lagi. “Saya juga tadi
sempat menciumnya, tapi cuma sekelebat terus hilang?”. Ujar bu Sari beralibi.
Kurang
lebih lima meter dari tempat bu Nopi, bu Sari dan Bu Eva, nampak Adra muntah
muntah, “Woeeeekkk, wooeeekkk?” “Bu Siti, itu si adra muntah?”. Ujar pa Kinoy
yang ada dekat anak anak bermain. “Kenapa kamu nak?”. Ujar bu Siti sambil
memegang badan anaknya. “Itu ma?. Bau tahi?”. Jawab Adra sambil memegang
hidungnya. “Ayo sudah, kita kesana saja?”. Ujar bu Siti sambil membawa anaknya
ke pondok. “Kenapa Adra bu Siti?”. Ujar bu Eva penasaran. “Itu, katanya ada bau
tahi, lalu muntah?. Padahal disitu tidak ada wc, atau bekas kotoran hewan?”.
Balas bu Siti sambil merapikan pakaian Adra. “Wih?” hebat kamu bu Nopi?, jarak
lima meter baru terasa efek dahsyatnya?”. Ujar bu Sari yang tahu kalau itu
semua akibat kentut dari bu Nopi. “Ssssttt? Jangan ribut?”. Timpal bu Nopi yang
nampak santai santai saja.
Dari kejauhan nampak sebuah speedbooat sedang melaju mendekati pantai sambil menarik beberapa buah wahana, banana boat dan donat boat, setibanya di pantai beberapa pengunjung di pondok lain langsung mencoba banana boat yang disewakan tersebut, gelombang cukup besar silih berganti menerpa bibir pantai, angin kencang pun terus menerpa dengan cukup kerasnya, sinar matahari mulai terasa terik namun panasnya tidak begitu teras oleh hembusan angin. Satu persatu rombongan dari tempat lain mencoba menaiki banana boat. Beberapa saat kemudian tiba giliran rombongan bapak guru SMASADASE mencoba menjelajah laut ujung pandaran dengan banana boat, “Ayo pa Sil, naik banana?”. Ujar pa Romi. “Waduh, nggak berani saya, kalian saja?”. Ujar pa Sil ciut.
Dari kejauhan nampak sebuah speedbooat sedang melaju mendekati pantai sambil menarik beberapa buah wahana, banana boat dan donat boat, setibanya di pantai beberapa pengunjung di pondok lain langsung mencoba banana boat yang disewakan tersebut, gelombang cukup besar silih berganti menerpa bibir pantai, angin kencang pun terus menerpa dengan cukup kerasnya, sinar matahari mulai terasa terik namun panasnya tidak begitu teras oleh hembusan angin. Satu persatu rombongan dari tempat lain mencoba menaiki banana boat. Beberapa saat kemudian tiba giliran rombongan bapak guru SMASADASE mencoba menjelajah laut ujung pandaran dengan banana boat, “Ayo pa Sil, naik banana?”. Ujar pa Romi. “Waduh, nggak berani saya, kalian saja?”. Ujar pa Sil ciut.
Akhirnya
beberapa orang guru menaiki banana boat, setelah menggunakan pakaian safety
yang disediakan merekapun berada di atas banana boat yang sudah terombang
ambing oleh gelombang. Sesaat kemudian speedboat dengan gas cukup full mencoba
menarik banana yang sudah ditunggangi oleh bapak guru alhasil tarikan pertama
terasa sulit akibat gelombang yang menghempas banana ke bibir pantai, baru
beberapa meter menuju lepas pantai, banana itu terbalik menyebabkan semua guru
itu terpental ke laut hingga terlihat mengapung di atas air laut yang bergelombang
tiada henti. “Eh, bu Sari, nanti kita coba naik banana boat yu?”. Ujar bu Nopi
dengan bu Saridon yang lagi asyik menikmati buah buahan. “Oke, siapa takut,
ajak juga tuh ibu ibu yang lain?”. Balas bu Sari mantap. “Sudah tadi di kasih
tahu, semuanya siap, nanti setelah bapak bapak sudah selesai baru kita yang
naik?”. “Sippp?, eh tapi kamu bisa berenang nggak?”. “Nggak bisa, tapi kemaren
waktu pertama kali mencoba lancar saja, malah asyik?”. Sambung bu Nopi yakin.
“Nanti kalau terbalik gimana, kaya bapak bapak tuch?”. “Ah, itu sengaja bapak
bapak saja yang membaliknya, pokoknya aman aja?”. “Kalau saya bisa berenang,
kamu saja paling nanti yang teriak teriak?” balas bu Saridon.
"siap, 1 2 3 ?”. ujar bu Dibe |
“Oh, saya kira beraksi itu mengeluarkan jurus, waduhlah maka sudah keluar jurus kontau kambe tadi?”. Kata bu Saridon santai. |
Sayangnya
kali ini para anak anak ikut serta di banana boat, jadi terpaksa para ibu ibu
harus ekstra perlindungan selama naik banana boat, setelah memasang
perlengkapan safety. Anak anak yang ikut sepertinya hanya memikirkan asyiknya
saja tanpa berpikir resikonya “Huaaaaaaaa huaaaaaa, jangan ikut bapa, jangan
ikut?”. Teriak Elang sambil menangis anaknya bu Eva yang tidak mau ayahnya ikut
banana boat, maksud ayahnya ikut sambil menjaga Ega anak tertuanya yang ikut
juga merasakan tantangan banana boat, akhirnya pa Nasir pun mengurungkan
niatnya untuk ikut banana boat. Yang naik banana pun Idon, anaknya bu Sari,
Farel dan Tasa anaknya bu Erna, Echa anaknya bu Ida, Rani anaknya bu Chirul dan
ibu ibu guru. Setelah menggunakan pakaian safety mereka semua perlahan lahan
ditarik oleh speedboat menerobos gelombang air laut yang tak pernah berhenti menerpa
pantai, kemeriahan dan keasyikan mereka rasakan hingga beberapa puluh meter
jauh dari bibir pantai, cukup lama mengitari air laut hingga akhirnya mereka
kembali di bawa menuju tempat semula, namun sial saat banana hendak putar arah,
gelombang menerpa cukup tinggi hingga akhirnya banana boat itu terbalik, semua
penumpang jatuh ke laut.
“Huaaaaaaaa huaaaaaa, jangan ikut bapa, jangan ikut?”. Teriak Elang |
“Tolooooooonggg? Saya tidak bisa berenang?”.
Teriak anak anak dan ibu ibu yang tidak bisa berenang, ada yang menangis sejadi
jadinya, “Farel, cepat pegang ibu?”. Ujar bu Siti yang berhasil meraih tali
speed boat, “Bu, Siti tolong sayaaa, huuuhuuuhuuu saya tidak mau mati?, saya
mau tenggelam”. Ujar bu Nopi sambil menangis histeris, begitu juga Rani semakin
keras jeritannya. “Aduhhhh, jangan kebanyakan memegang saya, nanti saya yang
bisa tenggelam?”. Balas bu Siti yang berusaha keras memegang tali speed boat
yang masih terikat dengan speed namun jarak antara speed cukup jauh,
menyulitkan speedboat datang. “Echa? Sini pegangan dengan ibu?”. Ujar bu Santi
yang berada di paling belakang. Gelombang yang cukup tinggi membuat speedboat
kesulitan untuk segera memutar arah mendekati mereka yang mengapung. “Toloong
saya, angkat saya duluan...huuuhhhuuuhhuu?”.Tangis bu Nopi yang merasa panik
luar biasa. Akhirnya speedboaat datang dan segera mengangkat beberapa orang
kedalam speed. “Tolong,. Angkat saya duluan huuuhhuuu?”. Jeritan bu Nopi tiada
henti. Karena merasa dirinya tidak di hiraukan oleh anak anak yang duluan di
angkat ke dalam speed. Sementara satu orang turun ke laut untuk membalikan
posisi banana ke posisi semula, supaya beberepa orang bisa segera naik kebanana
itu. “Nah? Jera tidak?”. Ucap bu Ida marah marah sama Echa anaknya yang memaksa
ikut naik banana.
Setelah
semuanya sudah terangkat dari air, dan sebagaian lagi di dalam speed, perlahan
banana boat itu kemudian ditarik melaju bersama speedboat yang berada
didepannya, yang masih diatas banana, bu Santi, bu Saridon, bu Rahmi, bu Ida,
Ega, Edon dan Echa, sementara bu Siti,
bu Nopi, Farel, Tassa dan Rani berada di dalam speedbooad. Ketika sudah
mendekati pantai tiba tiba bu Sari hendak melepaskan pakaian safetynya. “Jangan
di lepas bu?”. Teriak bapak yang berada di depan memandu banana tersebut.
Untung saja bu Sari susah melepaskan pakaian safetynya, maksud ibu itu melepaskan
pakaian safety kalau terbalik mudah untuk berenang, padahal justru dengan
pakaian safetylah bisa fatal akibatnya.
Akhirnya
mereka sampai ke tempat semula, dengan wajah yang masih diselimuti ketegangan,
“Bagaimana bu Nopi, apa mau lagi naik banana?”. Ujar bu Saridon santai. “Aku
jera?, biar diupah berapapun saya tidak mau lagi?”. Ucap bu Nopi yang masih
gugup dan basah kuyup. “Lho, maka katanya asyik, nggak apa apa, koq jera?”.
“Kamu santai bisa berenang, saya mana bisa berenang?”. “Nah? Kenapa tadi naik
banana kalau tidak bisa berenang, kan ibu juga yang semangat ngajak tadi?”.
“Iya tahu, tapi waktu yang pertama itu nggak terbalik?”. “Jelas aja, saat itu
kan gelombangnya kecil tidak sebesar sekarang?”. “Pokoknya aku jera?”. Ujar bu
Nopi dengan nada yang masih gugup.
“Kamu
juga sok, mau melepas pakaian pelindung segala?”. Sambung bu Nopi. “Soalnya
susah kalo berenang?”. “Eh, kalau kamu melepas pakaian pelampung tadi apa yakin
bisa berenang sampai ke pantai, mana gelombang besar lagi?”. “Eh, saya ini di
kampung terkenal sebagai perenang handal lho, nggak percaya? nanti tanya adik
saya bu Dibe?”. Ujar bu Saridon percaya diri. Saat itu mereka di hampiri bu
Dibe yang datang membawa handuk untuk kakaknya itu. “Bu Dibe, benar ya bu Sari
ini perenang handal?”. Ujar bu Nopi penasaran “Ah, perenang handal apanya?”.
Balas bu Dibe ketus. “Tadi katanya perenang handal di kampung?”. Sambung bu
Nopi. “Jelas aja perenang handal, itupun berenangnya di kolam buatan pa Sil
yang pakai tarpal itu?”. “Kalau itu, saya juga bisa bu Sari?”. Ujar Nopi sambil
memandang bu Saridon yang tertawa santai.
“Eh,
bu Dibe, tadi itu bu Sari ini mau melepaskan pakaian pelampungnya, untung saja
di marahi oleh bapak itu?”. Sambung bu Nopi ketus. “Akayah?. Kenapa bisa begitu
kak, kalau terjadi apa apa saya juga yang repot, nanti nggak ada lagi yang
bikin masakan buat kita, terus tulang tulang ikan siapa yang menghabisi
nanti?”. Ujar bu Dibe sewot. “Itu lagi?, tulang lagi yang di bicarakan, mangnya
gigiku ne dari gergaji?”. Celetuk bu Sari kesal. “Hahahahaha,.. gigi kakak tu
gigi piranha?”. Ujar bu Dibe bercanda. “Ayo kita mandi?, habis basah semua
ini?”. Ujar bu Nopi. Mereka pun berjalan menuju tempat mandi air tawar yang di
sediakan pengelola, namun harus mengeluarkan beberapa ribu untuk mendapatkan
air bersih itu.
“Ya, tunggu sebenar nak?”. Ujar bu Siti |
Cerita Senada :
Dunia Kami..
Mulen Menggapai Cita ..."
Suara Aneh Di Tengah Danau....?"
Inikah Rasanya Prajabatan Di Jogja...?"
- The end -
bu Hadisuyatni, S.Pd.MM
bu Nurul Eva Widya Statik, SE
bu Choirul Umatin, S.Pd
bu Rahmi Zakiyah, S.Pd
bu Susanti, S.Pd
bu Siti Musliah, S.Hut
bpk. Muhammad Kalyudi, ST
bu Novita Dewi Lestari, S.Pd
bpk. Meirezarianur, S.Pd
bpk. Rahmat Susanto, S.Kom
bpk. Saifullah, S.Pd
bu Dibe, S.Pd
bpk. Taufik Hidayat, S.Pd
bu Ernawati, S.Pd
bu. Sari
bpk. Edi
bpk. Yasir
bpk. ................
bpk. Ari
bpk. Rommi
bu. Idae Riyeni, SE
Ega
Elang
Arza
Echa
Cio
Idon
Tega
Tasa
Farel
Adra
Reihan
Dimas
Rani
Aira
Kaka
Mutia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar